*
Sunda Kelapa
Sunda Calapa
Simda Calapa
Sunda Kelapa
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra,jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
*
*
Dari beberapa situs prasejarah yang telah diekskavasi oleh para arkeolog, disimpulkan bahwa situs-situs tersebut berasal dari masa bercocok tanam dan masa perundagian, dengan kronologi sekitar 1000 SM sampai 500 M. Masa prasejarah di Jakarta berakhir pada abad ke-5 M, sejak ditemukannya Prasasti Tugu di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Prasasti Tugu ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Saat ini prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Prasasti Tugu yang membuka lembaran sejarah Jakarta, dikeluarkan oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti itu merupakan salah satu dari tujuh prasasti Raja Purnawarman yang tersebar di wilayah Bogor dan Banten. Karena ditemukan di wilayah Jakarta, tentulah keberadaan Prasasti Tugu penting untuk merekonstruksi sejarah Jakarta.
Sangat boleh jadi, nama Kampung Tugu sekarang berasal dari prasasti batu tersebut. Prasasti itu berbentuk kerucut bundar (curvelinear), karena itu penduduk menyebutnya “tugu”. Saat ini Kampung Tugu dikenal sebagai perkampungan orang-orang keturunan Portugis. Dengan demikian, ciri-ciri kunonya masih mudah ditelusuri. Di kampung itu masih dapat dijumpai bangunan tua Gereja Tugu yang berasal dari pertengahan abad ke-17 dan kesenian lama keroncong Tugu.
Nama Kampung Batu Tumbuh yang masih ada sekarang, mungkin juga diberikan orang bersumber dari batu bersejarah itu. Pada mulanya batu itu hampir tidak kelihatan karena tertimbun tanah. Lama-kelamaan karena erosi, batu itu muncul sedikit demi sedikit, mirip tanaman yang sedang tumbuh. Begitulah asal mula nama Batu Tumbuh (Dirman Surachmat, 1980).
Dari keseluruhan isi Prasasti Tugu, ada beberapa persoalan yang menarik untuk diselidiki. Pertama, mengenai dibuatnya dua buah sungai atau saluran air yang bernama Candrabhaga dan Gomati dalam waktu 21 hari. Sungai-sungai apakah itu dan di manakah lokasinya sehingga menimbulkan banyak perdebatan?
Kedua, tentang keraton sang raja. Dikatakan, Sungai Candrabhagamengalir melalui keraton sebelum mengalir ke laut, sementara Sungai Gomati mengalir melalui tanah milik nenek sang raja. Di manakah letak keraton tersebut dan mengapa tidak ada sisa-sisanya yang bisa dilihat?
Kali Tugu
Saat ini para penduduk masih mengenal sebuah kali yang bernama Kali Tugu. Beberapa puluh tahun yang lalu kali tersebut masih dapat dilayari perahu. Sayang kini kali itu telah mengalami pendangkalan dan penyempitan sehingga tidak bisa berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Jangan heran kalau hujan kecil saja akan menggenangi permukiman penduduk.
Prasasti Tugu, sekarang menjadi koleksi Museum Nasional (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Apakah Kali Tugu itu dulunya bernama Candrabhaga atau Gomati,masih belum teridentifikasi dengan memuaskan. Prof. Poerbatjaraka hanya pernah menafsirkan bahwa Candrabhaga adalah Kali Bekasi sekarang. Dasarnya adalah toponim Candrabhaga berubah menjadi Bhagasasi, lalu Bekasi. Dengan demikian keraton Raja Purnawarman, katanya, haruslah dicari di daerah Bekasi. Ataukah mungkin Chandrabhaga adalah Kali Cakung sebagaimana dugaan penulis buku-buku mengenai Jakarta, Adolf Heuken, juga perlu diteliti lebih lanjut.
Mengenai kata Gomati, informasi penting diperoleh dari J. Ph. Vogel. Dia mengatakan kata Gomati berarti “banyak atau kaya akan sapi”. Kemungkinan, kata itu ada hubungannya dengan nama tempat Kandang Sampi sekarang. Sementara N.J. Krom berpendapat, kedua sungai yang disebut dalam Prasasti Tugu adalah Sungai Citarum dan Ciliwung (Dirman Surachmat, hal. 36).
Penelitian arkeologi di sekitar daerah-daerah itu bahkan sampai ke wilayah Buni (Bekasi Utara) dilakukan mulai 1971, saat terbentuknya “Team Penelitian Sejarah dan Lokasi Kerajaan Tarumanagara”. Beberapa temuan yang teridentifikasi selama ekskavasi awal antara lain gerabah, keramik, terakota, pecahan botol, pipa “gouda”, tulang, batu kali, genteng, kerang, dan batu karang. Benda-benda tersebut ditemukan pada kedalamanan 50 cm – 120 cm dari permukaan tanah. Menurut penelitian, artefak-artefak tersebut lebih cenderung berfungsi untuk upacara keagamaan dan berasal dari masa kolonial.. Padahal, tujuan utama ekskavasi adalah untuk menemukan situs permukiman penduduk sekitar abad ke-5. Jadinya, upaya untuk melacak identifikasi saluran Candrabhaga dan Gomati kurang menuai hasil.
Pembangunan
Disayangkan, karena anggaran yang terbatas, maka penelitian arkeologi yang terlaksana baru mencapai taraf permulaan. Sangat jauh kalau dikatakan penelitian intensif atau ekskavasi menyeluruh. Akibat lama diterlantarkan, maka lapisan tanah pada situs-situs penggalian yang sudah dipilih, telah teraduk-aduk kembali oleh tangan manusia. Ini disebabkan selama bertahun-tahun saat kekosongan penelitian, masyarakat memanfaatkannya untuk penggarapan pertanian.
Gereja Tugu (Foto: kemdikbud.go.id)
Bahkan, di era 1970-an itu penelitian situs Tugu, harus berpacu melawan pesatnya pembangunan fisik di Kota Jakarta. Pembangunan perumahan oleh penduduk, pembangunan tempat-tempat perdagangan, perkantoran, dan real estate, serta pembangunan jalan semakin tak terkendali. Akibatnya, SK Gubernur tahun 1970 tentang penetapan wilayah Tugu dan situs-situs lain sebagai daerah yang dilindungi Undang-undang Kepurbakalaan (Monumenten Ordonnantie), tidak mampu dipertahankan lagi. Dengan demikian, situs-situs yang berkenaan dengan masa awal perkembangan sejarah Jakarta itu pun terlantar, bahkan rusak dan hilang.
Rencana semula untuk menjadikan wilayah Tugu sebagai “Suaka Budaya Sejarah” tinggal angan-angan. Beberapa situs yang tadinya akan diekskavasi, terpaksa diurungkan karena lokasinya sudah keburuterbelah oleh pembangunan jalan. Bahkan radius 600 meter dari Gereja Tugu yang akan dibiarkan kosong, dilanggar pengambil keputusan sendiri (pemerintah) dengan melakukan pembangunan di sana. Mengapa situs Tugu bisa hilang, tentu karena ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat. Pemerintah di satu pihak melindungi warisan kuno, tetapi di pihak lain pemerintah juga yang menghilangkan warisan-warisan kuno itu. Sungguh ironis sekaligus memalukan.
Penggalian penyelamatan sebagai usaha konservasi peninggalan terpendam, hanya pernah dua kali dilakukan. Begitu pula, konservasi lingkungan seni budayanya. Karena itu hasil yang diperoleh belum dapat dikatakan maksimal.
Kini, situs Tugu tinggal namanya saja. Itu pun hanya bisa dijumpai di gedung arsip dan museum. Situs tersebut belum sempat diteliti secara mendalam. Usaha para arkeolog untuk menyelamatkan benda-benda yang tersisa, menjadi sia-sia karena kalah cepat oleh pembangunan fisik. Apakah ada rasa sesal di benak pengambil keputusan, entahlah.
Tidak dimungkiri, Jakarta telah mengorbankan warisan berharga untuk generasi-generasi mendatang. Dengan dalih “demi kepentingan ekonomi” maka berbagai peninggalan masa lampau itu begitu mudahnya tergusur oleh pembangunan. Juga dengan mengabaikan undang-undang perlindungan situs-situs kuno yang sudah dibuat jauh sebelumnya oleh pemerintah Indonesia sendiri maupun UNESCO (badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan).
Harga yang harus dibayar mahal sekarang adalah kita tidak mungkin lagi bisa mengetahui lokasi yang tepat dari Kerajaan Tarumanagara atau di mana letak keraton Raja Purnawarman. Belum lagi, masa-masa yang jauh sebelumnya. Sungguh disayangkan, Jakarta telah begitu mencederai masa lampaunya. Padahal, “Kota tanpa masa lampau adalah Kota Gila,” begitu kata sejumlah pengamat arsitektur dan warisan budaya kota.
Dulu, penelitian Kerajaan Tarumanagara pernah disponsori oleh Universitas Tarumanagara, bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan Dinas Museum & Sejarah (sekarang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) DKI Jakarta. Mudah-mudahan banyak pihak, terlebih perguruan tinggi swasta, ikut mendukung penelitian tentang masa lampau Jakarta.***